Menyusuri Keindahan Pulau Sabang (Part 2)
Artikel berikut masih menceritakan serangkaian perjalanan wisata saya bersama blogger lainnya ke Pulau Weh, Sabang. Bagi kalian yang belum sempat baca artikel sebelumnya, bisa kepoin di : Menyusuri Keindahan Pulau Sabang (Part 1)
Cuaca pagi hari terasa sangat dingin, karena semalam baru saja diguyur hujan. Dan pagi hari pun kembali diguyur gerimis, tapi tidak lama. Seolah hujan pun tau kalau kami masih ingin melanjutkan menelusuri keindahan Pulau Sabang. Pagi itu, niat hati ingin menyaksikan sunrise, tapi sayangnya tertutup oleh awan yang mendung. Padahal kalau cuaca cerah, kami dapat dengan mudah melihat matahari terbit dengan cantiknya.
Setelah gerimis baru saja reda, kami memaksa keluar untuk menyaksikan keindahan Pantai Iboih di pagi hari. Suasana sudah ramai oleh aktivitas penduduk setempat. Bahkan ada yang sudah siap-siap untuk menuju Pulau Rubiah.
Suasana pagi hari di sekitar Pantai Iboih. Tersedia juga toko yang menjual perlengkapan menyelam dan souvenir lokal
Terdapat sebuah masjid di dekat Pantai Iboih
Tidak ada agenda penting pagi itu, karena kami hanya tinggal menunggu bang Iwan, sang guide jam 09.00 untuk menjemput kami dan mengantarkan kami berkeliling mengunjungi spot-spot menarik lainnya di Pulau Sabang. Untuk mengisi waktu kosong, kami hanya menghabiskan waktu dengan berfoto saja, karena keindahannya sangat disayangkan jika tidak diabadikan.
Tidak terasa waktu sudah mendekati jam 09.00. Kami bergegas kembali ke penginapan untuk mengemas barang bawaan.
Sengaja kami tidak sarapan dulu di dekat penginapan, karena rencananya kami ingin membeli nasi lemak (kita menyebutnya nasi uduk) sebagai menu sarapan pagi ini. Saya sendiri sangat penasaran ingin mencicipi nasi lemak, yang sering saya lihat dari serial Upin dan Ipin, hehehe..
Di sepanjang perjalanan, kami mampir ke beberapa warung di pinggir jalan yang menjajakan nasi lemak, tapi sayangnya, nasi lemaknya sudah habis. Karena memang waktu sudah semakin siang, sementara nasi lemak sangat cocok dinikmati di pagi hari. Alhasil kami pun gagal mencicipi nasi lemak khas Aceh hari itu.
Tugu Kilometer Nol, Here We Come!
Mobil pun meninggalkan Pantai Iboih dan mulai melaju perlahan menyusuri jalanan yang mulus menuju Tugu Kilometer Nol (atau ada juga yang menyebutnya Tugu 0 Kilometer). Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan berupa tebing di sebelah kiri dan hutan lindung di sebelah kanan dengan latar berupa lautan luas menghampar tidak bertepi. Pagi itu cuaca begitu cerah, sehingga setiap sudut pemandangan terlihat dengan begitu jelas.
Sesekali terlihat monyet di pinggir jalan, seolah ingin menyapa kami. Ya untuk menuju Tugu Kilometer Nol, kami harus melewati hutan dan perbukitan yang sangat rentan terjadi longsor jika diterjang hujan deras.
Jarak tempuh dari Pantai Iboih menuju Tugu Kilometer Nol sekitar 5 km. Namun obrolan hangat yang menemani kami sepanjang perjalanan, membuat perjalanan terasa begitu singkat. Tidak terasa kami pun sudah tiba di Tugu Kilometer Nol.
Tugu Kilometer Nol merupakan titik awal pengukuran jarak di Indonesia. Tugu atau monumen ini sebagai penanda geografis Indonesia dan juga sebagai simbol perekat Nusantara dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua.
Lokasi Tugu Kilometer Nol terletak di Hutan Wisata Sabang di Desa Iboih Ujong Ba'u, Kecamatan Sukakarya. Letaknya di sebelah barat kota Sabang sekitar 29 kilometer atau 40 menit jika berkendara.
Ketika kami tiba di lokasi, ternyata sedang dilakukan renovasi. Karena belum tersedia lahan parkir untuk kendaraan yang memadai, toilet umum dan infrastruktur pendukung lainnya.
Perut sudah terasa lapar. Kami hanya menemukan deretan warung-warung yang menjajakan mie dan pisang goreng. Empat mangkuk mie pun kami pesan untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah perih.
Setelah selesai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan ke monumen untuk berfoto-foto. Ternyata monumen sudah ramai oleh orang-orang yang hendak berfoto. Bahkan ada satu rombongan konvoi motor yang datang bersamaan dengan kami, sehingga membuat suasana bertambah ramai.
Berjalan ke arah kanan, kalian akan menemukan Taman Hutan Wisata Alam Pulau Weh. Disini kalian bisa mengabadikan gambar dengan latar lautan lepas. Tangga panjang bercat kuning dan berliku ini sengaja dibangun untuk memudahkan wisatawan dalam menjelajahi hutan di dekat Tugu Kilometer Nol.
Dari sini kalian dapat melihat dengan jelas lautan luas dan pulau-pulau di seberang wilayah Indonesia. Nampak juga sesekali kapal TNI melintas menjaga perbatasan wilayah NKRI.
Video ketika mengunjungi Taman Hutan Wisata Alam Pulau Weh yang lokasinya bersebelahan dengan Tugu Kilometer Nol :
Wisata ke Goa Sarang?
Setelah puas memandangi lautan dan berfoto di sekitar Tugu, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan berikutnya ke Goa Sarang.
Sesuai dengan namanya, objek wisata disini menawarkan pemandangan alam yang luar biasa indah dan lautan yang airnya berwarna biru. Dan yang menarik adalah goa yang terletak di bawah. Jadi kalian harus turun ke arah pantai yang terletak di bawah.
Sayang banget waktu itu kami tidak turun ke Goa. Kami hanya berfoto di atasnya saja. Di sini terdapat sebuah warung sederhana untuk sekedar jajan dan ngopi, serta sebuah rumah pohon. Untuk naik ke rumah pohon, cukup mengeluarkan uang IDR 5.000 saja, kalian akan mendapatkan view yang lebih luas dan indah untuk mengambil gambar. Spot ini cukup menarik loh.
Kurang puas cuma liat foto doang?? Berikut video yang saya ambil ketika mengunjungi wisata Goa Sarang :
Sebenarnya kami masih betah berlama-lama di Goa Sarang, tapi kami harus melanjutkan perjalanan untuk menikmati es kelapa muda di sebuah warung yang menawarkan pemandangan indah.
Di warung ini, saya memesan es kelapa muda (harga IDR 15.000) sebagai pelepas dahaga. Sementara ada juga yang memesan rujak khas Aceh dan juga mie Aceh. Selagi kami menikmati sajian, tepat di depan kami terdapat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Klah. Tidak jauh dari Pulau Klah, nampak Pantai Iboih dan Pulau Rubiah dari kejauhan.
Destinasi Berikutnya Danau Aneuk Laot, Benteng Jepang dan Pantai Sumur Tiga
Perjalanan selanjutnya menuju Danau Aneuk Laot yang berarti Aneuk="Anak" dan Laot="Laut". Danau ini terletak di tengah-tengah Pulau Weh, Sabang, dan merupakan sumber mata air bagi penduduk Pulau Weh.
Kalau kalian berfoto dari atas Tugu "I Love Sabang", maka Danau Aneuk Laot akan terlihat dengan jelas.
Ketika sampai di lokasi, tempat parkirnya kecil. Lalu ada beberapa kolam pemancingan, sebuah musholla kecil dan restoran yang menyajikan menu ikan dan ayam.
Kami sholat dzuhur dulu baru dilanjutkan makan siang dengan menu ikan bakar dan es teh manis. Pemandangan di sekitar danau sangat menarik. Dikelilingi perbukitan dan pohon-pohon kelapa yang berbaris rapih.
Tidak terasa hari sudah semakin sore. Setelah selesai makan siang dan sekalian sholat Ashar, kami melanjutkan perjalanan menuju Benteng Jepang. Lokasinya berada di Ujong Kareung, Sabang, Aceh. Kalau gak salah sekitar 15 menitan.
Disini kalian bisa melihat pos-pos serta bunker sisa Perang Dunia II yang dibuat oleh pasukan Jepang sebagai pertahanan terdepan di garis pantai terhadap serangan tentara Sekutu. Konon menurut pengakuan masyarakat setempat, Jepang juga membangun terowongan bawah tanah untuk menjangkau lokasi-lokasi yang mereka anggap strategis di Sabang.
Ketika saya menyusuri sekitar benteng ini, nampak pos-pos sisa peninggalan tentara Jepang yang sudah usang. Selain itu juga terdapat sebuah meriam tua berukuran besar yang didiamkan saja sebagai saksi bisu Perang Dunia II. Tadinya meriam ini diletakkan persis mengarah ke laut untuk menggempur pasukan musuh tentara Jepang. Kami pun sempat mengambil beberapa foto di lokasi. Berikut adalah video saya ketika mengunjungi pos-pos dan bunker sisa PD II :
Selanjutnya kami menuju Pantai Sumur Tiga yang terletak di Gampong le Meulee, Pulau Weh, Sabang. Pantai ini memiliki panorama yang begitu indah dan ombak yang lebih besar dibanding di Pantai Iboih.
Konon disini dulunya terdapat tiga sumur air tawar. Jarak antara sumur hanya terpaut 10-20 meter. Sewaktu saya kesana, ketiga sumurnya sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pantai Sumur Tiga memiliki pasir pantai yang putih dan air yang jernih. Tidak heran banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berlibur ke pantai ini dengan snorkeling dan diving.
Tidak terasa waktu mendekati maghrib. Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke penginapan yang terletak di kota Sabang. Lokasinya tidak jauh dari Pantai Sumur Tiga, hanya sekitar 15 menit saja.
Ketika tiba di penginapan, saya sudah tidak sabar ingin segera membasuh diri karena cuaca yang cukup panas. Penginapan disini cukup nyaman dilengkapi dengan fasilitas AC, TV Kabel, shower dan tentu saja Wi-Fi.
Sebenarnya kami masih punya 1 agenda lagi, yakni makan malam. Bang Iwan akan menjemput kami kembali jam 19.30 untuk makan malam dan berkeliling menikmati suasana malam di Kota Sabang.
Mencicipi Sate Gurita, Teh Hijau, Mie Jalak dan Belanja Oleh-Oleh Khas Sabang
Tepat jam 19.30 bang Iwan menjemput kami dan mengantarkan kami ke restoran yang letaknya di tepi Pantai Kasih sambil ditemani deburan ombak. Rencananya kami ingin mencicipi sate gurita khas Sabang. Tapi saya berubah pikiran. Karena saya tergoda untuk mencicipi mie Jalak khas Sabang yang katanya lezat.
Tapi supaya tidak penasaran bagaimana rasanya sate gurita, saya sempat mencicipi 1 tusuk sate gurita bumbu Padang yang dipesan sama Mba Retno, Mba Evrina dan Sarah. Hmmm, lumayan lezat loh guys.
Sementara saya dan kang Ali hanya memesan kentang goreng dan teh hijau khas Aceh sebagai camilan pengganjal perut sementara. Jauh-jauh ke Aceh cuma pesan kentang goreng, hahaha...
Para ladies blogger nampak sudah pada kenyang. Tanpa membuang waktu, kami langsung menuju restoran yang menjual mie Jalak khas Sabang dan juga toko oleh-oleh. Ketika kami menelusuri Kota Sabang, ternyata suasana di kota begitu ramai, terutama di cafe-cafe yang sedang mengadakan nonton bareng MotoGP saat itu.
Mobil berhenti di depan toko yang menjual oleh-oleh makanan khas Sabang. Bang Iwan ngasih bocoran, kalau mau beli oleh-oleh makanan, sebaiknya pilih merk AG, karena rasanya lebih nikmat. Sementara para ladies membeli oleh-oleh, saya, bang Iwan dan kang Ali menikmati sajian mie Jalak khas Sabang.
Banyak yang bilang, kalau traveling ke Sabang, rasanya kurang lengkap kalau belum menikmati mie Jalak. Saya sebagai pencinta mie, tentu saja tidak mau melewatkan kesempatan langka ini begitu saja. Saya sendiri kurang paham mengapa dinamakan mie Jalak. Tapi gak masalah bagaimana asal muasalnya, yang penting saya bisa menikmati rasanya, muehehehe...
Mie Jalak memiliki tekstur mie yang lembek berbentuk lurus dan gepeng. Berwarna sedikit pucat, ditaburi daun bawang, telur rebus dan potongan tumis ikan kecap. Sementara kuahnya disajikan terpisah. Harganya pun terjangkau, berkisar IDR 12.000 - 20.000 saja.
Karena 1 porsi isinya banyak, saya kekenyangan dan gak habis. Mungkin kalau dalam keadaan lapar berat, porsi mie Jalak ini cocok banget guys untuk mengisi perut.
Sebenarnya kami masih ingin menikmati malam itu lebih lama lagi, tapi sayangnya kami harus kembali ke penginapan, karena esok kami harus bertolak ke Banda Aceh pagi-pagi sekali. Saya mau cerita tentang pengalaman saya dan rekan-rekan ke tempat-tempat yang dulu pernah dihempas gelombang tsunami Aceh. Penasaran ada apa saja di Aceh??? Nantikan di artikel berikutnya ya guys.....
Sengaja kami tidak sarapan dulu di dekat penginapan, karena rencananya kami ingin membeli nasi lemak (kita menyebutnya nasi uduk) sebagai menu sarapan pagi ini. Saya sendiri sangat penasaran ingin mencicipi nasi lemak, yang sering saya lihat dari serial Upin dan Ipin, hehehe..
Tugu Kilometer Nol, Here We Come!
Mobil pun meninggalkan Pantai Iboih dan mulai melaju perlahan menyusuri jalanan yang mulus menuju Tugu Kilometer Nol (atau ada juga yang menyebutnya Tugu 0 Kilometer). Sepanjang perjalanan kami disuguhkan pemandangan berupa tebing di sebelah kiri dan hutan lindung di sebelah kanan dengan latar berupa lautan luas menghampar tidak bertepi. Pagi itu cuaca begitu cerah, sehingga setiap sudut pemandangan terlihat dengan begitu jelas.
Sesekali terlihat monyet di pinggir jalan, seolah ingin menyapa kami. Ya untuk menuju Tugu Kilometer Nol, kami harus melewati hutan dan perbukitan yang sangat rentan terjadi longsor jika diterjang hujan deras.
Jarak tempuh dari Pantai Iboih menuju Tugu Kilometer Nol sekitar 5 km. Namun obrolan hangat yang menemani kami sepanjang perjalanan, membuat perjalanan terasa begitu singkat. Tidak terasa kami pun sudah tiba di Tugu Kilometer Nol.
Tugu Kilometer Nol merupakan titik awal pengukuran jarak di Indonesia. Tugu atau monumen ini sebagai penanda geografis Indonesia dan juga sebagai simbol perekat Nusantara dari Sabang di Aceh sampai Merauke di Papua.
Lokasi Tugu Kilometer Nol terletak di Hutan Wisata Sabang di Desa Iboih Ujong Ba'u, Kecamatan Sukakarya. Letaknya di sebelah barat kota Sabang sekitar 29 kilometer atau 40 menit jika berkendara.
Ketika kami tiba di lokasi, ternyata sedang dilakukan renovasi. Karena belum tersedia lahan parkir untuk kendaraan yang memadai, toilet umum dan infrastruktur pendukung lainnya.
Suasana di sekitar Tugu Kilometer Nol. Nampak berjejer warung penjaja makanan dan toko penjual souvenir khas Sabang
Perut sudah terasa lapar. Kami hanya menemukan deretan warung-warung yang menjajakan mie dan pisang goreng. Empat mangkuk mie pun kami pesan untuk mengisi perut yang sedari tadi sudah perih.
Setelah selesai mengisi perut, kami melanjutkan perjalanan ke monumen untuk berfoto-foto. Ternyata monumen sudah ramai oleh orang-orang yang hendak berfoto. Bahkan ada satu rombongan konvoi motor yang datang bersamaan dengan kami, sehingga membuat suasana bertambah ramai.
Gak nyangka bisa nongkrong di Tugu Kilometer Nol. Mumpung sepi, nangkring dulu ah disini. Soalnya mau foto disini harus antri, hehehe
Kiri-kanan : Mba Evrina, Kang Ali, Hendra Suhendra, Mba Retno dan Sarah
Dari sini kalian dapat melihat dengan jelas lautan luas dan pulau-pulau di seberang wilayah Indonesia. Nampak juga sesekali kapal TNI melintas menjaga perbatasan wilayah NKRI.
Video ketika mengunjungi Taman Hutan Wisata Alam Pulau Weh yang lokasinya bersebelahan dengan Tugu Kilometer Nol :
Wisata ke Goa Sarang?
Setelah puas memandangi lautan dan berfoto di sekitar Tugu, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan berikutnya ke Goa Sarang.
Sesuai dengan namanya, objek wisata disini menawarkan pemandangan alam yang luar biasa indah dan lautan yang airnya berwarna biru. Dan yang menarik adalah goa yang terletak di bawah. Jadi kalian harus turun ke arah pantai yang terletak di bawah.
Ini penampakan Goa Sarang di Sabang. Sayangnya kami tidak turun ke bawah menuju Goa ini. Image : travels-indonesia.com
Sayang banget waktu itu kami tidak turun ke Goa. Kami hanya berfoto di atasnya saja. Di sini terdapat sebuah warung sederhana untuk sekedar jajan dan ngopi, serta sebuah rumah pohon. Untuk naik ke rumah pohon, cukup mengeluarkan uang IDR 5.000 saja, kalian akan mendapatkan view yang lebih luas dan indah untuk mengambil gambar. Spot ini cukup menarik loh.
Kurang puas cuma liat foto doang?? Berikut video yang saya ambil ketika mengunjungi wisata Goa Sarang :
Sebenarnya kami masih betah berlama-lama di Goa Sarang, tapi kami harus melanjutkan perjalanan untuk menikmati es kelapa muda di sebuah warung yang menawarkan pemandangan indah.
Nampak berjejer pulu kecil di seberangnya. Yang di tengah itu namanya Pulau Klah
Di warung ini, saya memesan es kelapa muda (harga IDR 15.000) sebagai pelepas dahaga. Sementara ada juga yang memesan rujak khas Aceh dan juga mie Aceh. Selagi kami menikmati sajian, tepat di depan kami terdapat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Klah. Tidak jauh dari Pulau Klah, nampak Pantai Iboih dan Pulau Rubiah dari kejauhan.
Destinasi Berikutnya Danau Aneuk Laot, Benteng Jepang dan Pantai Sumur Tiga
Perjalanan selanjutnya menuju Danau Aneuk Laot yang berarti Aneuk="Anak" dan Laot="Laut". Danau ini terletak di tengah-tengah Pulau Weh, Sabang, dan merupakan sumber mata air bagi penduduk Pulau Weh.
Kalau kalian berfoto dari atas Tugu "I Love Sabang", maka Danau Aneuk Laot akan terlihat dengan jelas.
Ketika sampai di lokasi, tempat parkirnya kecil. Lalu ada beberapa kolam pemancingan, sebuah musholla kecil dan restoran yang menyajikan menu ikan dan ayam.
KALHEUH SEUMAHYANG GOHLOM (Baca : Kaleuh Semahyang Golom)?? (Artinya : Sudah Sembahyang Belum??. Mushollahnya mungil minimalis
Menunggu pesanan yang belum juga datang, sementara perut sudah lapar 😉
Kami sholat dzuhur dulu baru dilanjutkan makan siang dengan menu ikan bakar dan es teh manis. Pemandangan di sekitar danau sangat menarik. Dikelilingi perbukitan dan pohon-pohon kelapa yang berbaris rapih.
Tidak terasa hari sudah semakin sore. Setelah selesai makan siang dan sekalian sholat Ashar, kami melanjutkan perjalanan menuju Benteng Jepang. Lokasinya berada di Ujong Kareung, Sabang, Aceh. Kalau gak salah sekitar 15 menitan.
Disini kalian bisa melihat pos-pos serta bunker sisa Perang Dunia II yang dibuat oleh pasukan Jepang sebagai pertahanan terdepan di garis pantai terhadap serangan tentara Sekutu. Konon menurut pengakuan masyarakat setempat, Jepang juga membangun terowongan bawah tanah untuk menjangkau lokasi-lokasi yang mereka anggap strategis di Sabang.
Meriam sisa peninggalan tentara Jepang di pos penjagaan diatas laut
Pemandangan di sekitar benteng Jepang sangat indah dan mempesona
Ketika saya menyusuri sekitar benteng ini, nampak pos-pos sisa peninggalan tentara Jepang yang sudah usang. Selain itu juga terdapat sebuah meriam tua berukuran besar yang didiamkan saja sebagai saksi bisu Perang Dunia II. Tadinya meriam ini diletakkan persis mengarah ke laut untuk menggempur pasukan musuh tentara Jepang. Kami pun sempat mengambil beberapa foto di lokasi. Berikut adalah video saya ketika mengunjungi pos-pos dan bunker sisa PD II :
Selanjutnya kami menuju Pantai Sumur Tiga yang terletak di Gampong le Meulee, Pulau Weh, Sabang. Pantai ini memiliki panorama yang begitu indah dan ombak yang lebih besar dibanding di Pantai Iboih.
Konon disini dulunya terdapat tiga sumur air tawar. Jarak antara sumur hanya terpaut 10-20 meter. Sewaktu saya kesana, ketiga sumurnya sudah tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Pantai Sumur Tiga memiliki pasir pantai yang putih dan air yang jernih. Tidak heran banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berlibur ke pantai ini dengan snorkeling dan diving.
Tidak terasa waktu mendekati maghrib. Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke penginapan yang terletak di kota Sabang. Lokasinya tidak jauh dari Pantai Sumur Tiga, hanya sekitar 15 menit saja.
Ketika tiba di penginapan, saya sudah tidak sabar ingin segera membasuh diri karena cuaca yang cukup panas. Penginapan disini cukup nyaman dilengkapi dengan fasilitas AC, TV Kabel, shower dan tentu saja Wi-Fi.
Sebenarnya kami masih punya 1 agenda lagi, yakni makan malam. Bang Iwan akan menjemput kami kembali jam 19.30 untuk makan malam dan berkeliling menikmati suasana malam di Kota Sabang.
Mencicipi Sate Gurita, Teh Hijau, Mie Jalak dan Belanja Oleh-Oleh Khas Sabang
Tepat jam 19.30 bang Iwan menjemput kami dan mengantarkan kami ke restoran yang letaknya di tepi Pantai Kasih sambil ditemani deburan ombak. Rencananya kami ingin mencicipi sate gurita khas Sabang. Tapi saya berubah pikiran. Karena saya tergoda untuk mencicipi mie Jalak khas Sabang yang katanya lezat.
Tapi supaya tidak penasaran bagaimana rasanya sate gurita, saya sempat mencicipi 1 tusuk sate gurita bumbu Padang yang dipesan sama Mba Retno, Mba Evrina dan Sarah. Hmmm, lumayan lezat loh guys.
Sementara saya dan kang Ali hanya memesan kentang goreng dan teh hijau khas Aceh sebagai camilan pengganjal perut sementara. Jauh-jauh ke Aceh cuma pesan kentang goreng, hahaha...
Para ladies blogger nampak sudah pada kenyang. Tanpa membuang waktu, kami langsung menuju restoran yang menjual mie Jalak khas Sabang dan juga toko oleh-oleh. Ketika kami menelusuri Kota Sabang, ternyata suasana di kota begitu ramai, terutama di cafe-cafe yang sedang mengadakan nonton bareng MotoGP saat itu.
Mobil berhenti di depan toko yang menjual oleh-oleh makanan khas Sabang. Bang Iwan ngasih bocoran, kalau mau beli oleh-oleh makanan, sebaiknya pilih merk AG, karena rasanya lebih nikmat. Sementara para ladies membeli oleh-oleh, saya, bang Iwan dan kang Ali menikmati sajian mie Jalak khas Sabang.
Banyak yang bilang, kalau traveling ke Sabang, rasanya kurang lengkap kalau belum menikmati mie Jalak. Saya sebagai pencinta mie, tentu saja tidak mau melewatkan kesempatan langka ini begitu saja. Saya sendiri kurang paham mengapa dinamakan mie Jalak. Tapi gak masalah bagaimana asal muasalnya, yang penting saya bisa menikmati rasanya, muehehehe...
Penampakan mie Jalak yang menggoda lidah
Ada yang mau mie Jalak?? Enak loh...
Mie Jalak memiliki tekstur mie yang lembek berbentuk lurus dan gepeng. Berwarna sedikit pucat, ditaburi daun bawang, telur rebus dan potongan tumis ikan kecap. Sementara kuahnya disajikan terpisah. Harganya pun terjangkau, berkisar IDR 12.000 - 20.000 saja.
Karena 1 porsi isinya banyak, saya kekenyangan dan gak habis. Mungkin kalau dalam keadaan lapar berat, porsi mie Jalak ini cocok banget guys untuk mengisi perut.
Sebenarnya kami masih ingin menikmati malam itu lebih lama lagi, tapi sayangnya kami harus kembali ke penginapan, karena esok kami harus bertolak ke Banda Aceh pagi-pagi sekali. Saya mau cerita tentang pengalaman saya dan rekan-rekan ke tempat-tempat yang dulu pernah dihempas gelombang tsunami Aceh. Penasaran ada apa saja di Aceh??? Nantikan di artikel berikutnya ya guys.....
Posting Komentar untuk "Menyusuri Keindahan Pulau Sabang (Part 2)"